CIREBON, CHANE7.ID – Semenjak terkuaknya skandal Pendapatan Asli Desa (PADesa) di Kabupaten Cirebon baru-baru ini, perhatian berbagai elemen masyarakat, dari pemerhati hingga praktisi hukum, semakin meningkat. Persoalan di desa ini sangat kompleks, terutama terkait tunjangan insentif tambahan yang bersumber dari tanah kas desa (TKD).
Masih banyak anggapan bahwa oknum aparatur pemerintah desa menganggap tunjangan insentif tambahan dari tanah kas desa, khususnya tanah bengkok, bukan merupakan bagian dari PADesa. Kondisi ini bertentangan dengan Peraturan Bupati Cirebon Nomor 182 Tahun 2022 Pasal 16.
Sebelum terkuaknya skandal PADesa, tidak sedikit oknum aparatur pemerintah desa yang diduga menghindari pajak pendapatan. Pasalnya, tunjangan insentif tambahan yang bersumber dari tanah kas desa sering kali tidak disetorkan ke rekening desa dengan kode yang sesuai.
Minimnya sosialisasi dari dinas terkait juga menjadi masalah, karena terjadi saling tuding antara tingkat desa, kecamatan, hingga Dinas Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa (DPMD).
- Advertisement -
Kondisi Pemerintah Kabupaten Cirebon darurat skandal PADesa ini menarik perhatian publik. Setelah skandal PADesa ini terkuak, Nota Kesepahaman (MoU) antara pemerintah desa se-Kabupaten Cirebon dengan Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon menjadi bentuk pertanyaan, apakah sebagai perlindungan hukum atau sebagaai pakta integritas, persoalan ini menerbitkan pro dan kontra serta menuai kontroversi dari beberpa sudut pandang.
Tidak sedikit masyarakat yang berharap adanya transparansi terkait isi substansi dari perjanjian tersebut. MoU ini dipandang sebagai tanda tanya besar oleh masyarakat: apakah ini merupakan bentuk perlindungan hukum atau hanya sebatas pakta integritas ataukah ada unsur kepentingan di balik skandal PADesa?
Persoalan skandal PADesa yang tidak kunjung selesai di Kabupaten Cirebon mencuri Perhatian Masyarakat Pemerhati, Yogi Syahrial mulai angkat bicara, “menanggapi persoalan tunjangan insentif tambahan aparatur desa sudah jelas diatur pasal 16 peraturan Bupati Cirebon Nomor 182 Thain 2022. Jadi sangat jelas ya, baik untuk titisara dan bengkok itu adalah PADesa, dan PADesa jelas penggunaannya 70% untuk masyarakat dan 30% untuk tunjangan tambahan, “terangnya.
Masyarakat Pemerhati, Yogi Syahrial angkat bicara, “Pada prinsipnya kita jangan sampai keliru. Ini sudah diatur dengan jelas, dan masyarakat harus tahu bahwa 70% PADesa diatur sebagaimana Perbup Nomor 182 Tahun 2022. Selain itu, Pemdes harus transparan mengenai jumlah Tanah Kas Desa, baik itu tanah titisara atau tanah bengkok yang sejatinya adalah sumber kekayaan asli desa. Pemdes harus terbuka soal ini, misalnya dengan bentuk transparansi jumlah Tanah Kas Desa yang dipampang di baliho sebagai bentuk keterbukaan informasi publik terhadap masyarakat dengan rincian jumlah, luas, dan lokasinya. Hanya saja, desa masih banyak yang tidak transparan mengenai sumber kekayaan desa.
Ini tidak bisa dibiarkan. Kekayaan desa bukan kekayaan pribadi aparatur desa melainkan kekayaan yang diperuntukkan untuk asas kepentingan umum, di antaranya masyarakat yang mengajukan usulan-usulan program yang bersumber dari PADesa yang dituangkan dalam RPJMDes.”
- Advertisement -
“Besar harapan saya, baik untuk BPD, Pemerintah Desa, Kecamatan, dan DPMD agar lebih transparan dalam mensosialisasikan persoalan PADesa.
Hal ini untuk kemaslahatan bersama dan jangan sampai terulang kembali skandal PADesa terjadi di Kabupaten Cirebon,”imbuhnya Yogi Syahrial kepada Chanel7.id.
Tidak hanya itu, Ketua Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Kabupaten Cirebon Marhendi, SH., MH., mulai bersuara terkait Skandal PADesa, “terkait M.O.U antara Pemdes se-Kabupaten Cirebon dengan Kejaksaan Negri Kabupaten Cirebon harus jelas substansinya, perjanjian yang di maksud tersebut itu apa, apakah perlindungan hukum ataukah Pakta integritas ataukah urusan kepentingan lainya, jadi ini harus jelas dan transparan kepada publik, jangan sampai menjadi persoalan di kemudian hari, karena M.O.U tersebut muncul setelah mencuatnya Skandal PADesa di Kabupaten Cirebon, jadi wajar kita pertanyakan hal itu”, terang Marhendi, SH., MH., yang juga pernah menjabat sebagai Komisi Informasi Kabupaten Cirebon Pengganti Antar Waktu masa bhakti 2013-2017.
- Advertisement -
®Hadiyanto