CIREBON, CHANEL7.ID – Dinamika politik di Desa Setu Kulon, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat, semakin memanas setelah pemberhentian tujuh perangkat desa yang memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pihak terkait. Pemberhentian ini dinilai tidak sesuai dengan regulasi Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 Pasal 5.
Menurut informasi terbaru, keputusan pemberhentian perangkat desa meliputi:
1. Dedi Supriyadi berdasarkan Keputusan Kuwu Setu Kulon Nomor: 141.3/Kep.378-Desa/2024 tertanggal 12 Juli 2024.
2. Supriyatin berdasarkan Keputusan Kuwu Setu Kulon Nomor: 141.3/Kep.377-Desa/2024 tertanggal 16 Juli 2024.
- Advertisement -
3. Nur’aeni berdasarkan Keputusan Kuwu Setu Kulon Nomor: 141.3/Kep.376-Desa/2024 tertanggal 16 Juli 2024.
4. Abdul Mukti berdasarkan Keputusan Kuwu Setu Kulon Nomor: 141.3/Kep.374-Desa/2024 tertanggal 16 Juli 2024.
5. Arifin berdasarkan Keputusan Kuwu Setu Kulon Nomor: 141.3/Kep.372-Desa/2024 tertanggal 16 Juli 2024.
6. Bangkit Mulya berdasarkan Keputusan Kuwu Setu Kulon Nomor: 141.3/Kep.373-Desa/2024 tertanggal 16 Juli 2024.
7. Nasrikin berdasarkan Keputusan Kuwu Setu Kulon Nomor: 141.3/Kep.375-Desa/2024 tertanggal 16 Juli 2024.
- Advertisement -
Kebijakan ini menuai kritik dari beberapa perangkat desa yang merasa keputusan tersebut tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku. Salah satu perangkat desa yang diberhentikan, Nasrikin, mengungkapkan bahwa pemberhentian ini berawal dari sengketa internal mengenai tunjangan insentif tambahan yang bersumber dari tanah kas desa, khususnya tanah bengkok tahun anggaran 2022-2023.
“Saya yakin pemberhentian ini berakar dari kisruh tunjangan insentif bengkok yang tidak diberikan oleh Kuwu kepada perangkat desa Setu Kulon. Hal ini berdampak pada roda pemerintahan yang semakin memanas,” ujar Nasrikin saat ditemui Chanel7.id, 26 Juli 2024.
Lebih lanjut, Nasrikin mengungkapkan adanya proses hukum di unit Tipidkor Polresta Cirebon terkait dugaan tindak pidana korupsi tahun anggaran 2022-2023. Proses hukum ini, menurutnya, berpotensi menjadi salah satu alasan di balik keputusan pemberhentian perangkat desa yang dinilai tidak adil.
- Advertisement -
“Perlakuan Kuwu yang tidak mencerminkan kepemimpinan yang baik berdampak luas. Tidak diberikannya tunjangan insentif tambahan dari bengkok menyebabkan ketidakpuasan di kalangan perangkat desa. Kami merasa ada banyak pelanggaran aturan, dan perangkat desa sering tidak hadir dijadikan alasan pemberhentian. Mestinya Kuwu harus mengetahui alasan ketidakhadiran perangkat,” terang Nasrikin kepada jurnalis Chanel7.id, 26 Juli 2024.
Selain masalah tunjangan, pengelolaan dana desa juga menjadi sorotan. Temuan menunjukkan adanya penyalahgunaan dalam penggunaan dana desa oleh Kuwu Joharudin. Tahun anggaran 2023, terdapat dana desa tahap II sebesar Rp10.904.500 yang tidak direalisasikan untuk rehab PAUD desa, serta dana desa tahap III sebesar Rp5.000.000 untuk rehab PAUD dan program ketahanan pangan yang tidak terealisasi. Selain itu, dana desa tahap III sebesar Rp63.467.600 juga tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Ketimpangan ini turut diperparah dengan pengelolaan sumber dana dari PADesa yang tidak disetorkan secara penuh. Salah satu temuan menunjukkan bahwa hasil sewa tanah kas desa tahun anggaran 2022-2023 tidak disetorkan secara utuh.
BPD Setu Kulon juga mencatat bahwa ada indikasi monopoli dana desa oleh Kuwu Joharudin. Hal ini diketahui setelah Abdul Mukti, salah satu perangkat desa, mengeluarkan surat teguran kepada Ketua Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), Muhammad Fajar yang akrab disapa Cak Us, terkait tidak direalisasikannya beberapa program dana desa tahun anggaran 2023.
Kondisi ini menambah kompleksitas masalah di Desa Setu Kulon dan menjadi peringatan bagi pihak-pihak terkait untuk segera mengambil langkah solusi yang tepat. Kontroversi ini mencerminkan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pemerintahan desa demi kesejahteraan masyarakat.
Untuk informasi lebih lanjut, ikuti perkembangan berita selanjutnya di Chanel7.id.
®Hadiyanto