SURAKARTA, CHANEL7.ID – Berbicara mengenai pergeseran status ojek online ke ranah UMKM, terdapat sejumlah pertanyaan mendasar yang perlu diangkat. Kebijakan ini, dalam pandangan kritis, seolah-olah menjadi upaya pengalihan isu dari persoalan regulasi dan perlindungan hak-hak dasar para driver (18/06/2025).
Dalam diskusi kecil terbuka dengan para driver ojol di Surakarta ada sebuah lontaran pertanyaan yang menggelitik dimana salah seorang rekan driver mengajukan beberapa pertanyaan yang sangat krusial dan fundamental terkait penyikapan persoalan wacana pergeseran status Ojol ke ranah UMKM
Ada dualisme pandangan dalam hal ini. Dari satu sisi, Putra salah seorang Driver Ojol melontarkan pandangan penyikapan dalam wacana yang belakangan santer diberitakan media, menurutnya pernyataan yang diajukan Menteri UMKM menyebutkan bahwa status UMKM akan membawa berbagai benefit dan fleksibilitas. Namun, realitanya justru hal ini menunjukkan adanya kecenderungan sistemik untuk mempertahankan struktur eksploitatif yang sudah ada. Kebijakan semacam ini bukanlah soal penyesuaian semu atau solusi jangka pendek, melainkan cermin dari ketidakmampuan regulator mengadopsi pendekatan yang benar-benar melindungi kepentingan tenaga kerja.” paparnya
Lebih lanjut dikatakan “Pergeseran ini, sebagaimana dijelaskan, oleh Mentri UMKM Mamam Abdurachan. seakan-akan menjadi “pelarian” dari perdebatan regulasi yang berbasis fakta dan sistematika. Proses kajian panjang yang seharusnya menjadi landasan dasar pengambilan keputusan, tampak dipandang sebelah mata. Alih-alih mengutamakan kepastian regulasi dan perlindungan sosial, serta payung hukum.” ungkap Putra.
“Kebijakan ini lebih mengedepankan kepentingan praktis dari pihak aplikator. Kita semua tahu dari mekanisme yang ada, aplikator telah membuktikan dirinya memiliki algoritma ketat dengan target-target dan sanksi yang memberatkan mengintai di sisi para mitra. Ini jelas menunjukkan bahwa di balik segala benefit yang diusung, tersimpan celah yang memungkinkan terjadinya eksploitasi secara sistematis.” tegasnya.
Disisi lain Djoko Saryanto mengungkapkan “anggapan bahwa upaya terkait pergeseran tersebut adalah sebuah opsi yang bisa diperhitungkan, apabila ranah nya adalah status driver sebagai pelaku UMKM, masih ada batas toleransi karena bisa jadi, ini adalah opsi yang bisa menjadi jalan untuk pengakuan terhadap status driver dan perbaikan kesejahteraan melalui sistem dan regulasi koperasi yang mengakomodir hak-hak para anggotanya. Namun bila dalam ranah aplikasi tentunya butuh kajian lebih lanjut, mengingat ini ranahnya adalah transportasi online yang melibatkan banyak pihak dan pemangku kebijakan.
Sementara terpisah dari para penggiat regulasi dan praktisi, misalnya dalam konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), sudah secara tegas menyatakan bahwa ojek online harus diakui sebagai pekerja dengan hak dan jaminan yang setara, pergeseran status ini justru mempertanyakan keberadaan jaminan tersebut. Dalam konteks global, isu kesejahteraan pekerja semakin mencuat karena adanya tekanan tarif yang terus diturunkan demi persaingan pasar yang tidak sehat.
Aplikasi-aplikasi ride-hailing, dengan sistem algoritma yang ketat dan target-target kerja, serta intaian penalti sanksi, tentu sangat identik dengan karakteristik pekerja. Hal tersebut menjadi kontradiktif dengan semangat pemberdayaan UMKM yang pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan ekosistem yang lebih inklusif dan berkeadilan. dengan demikian, melihat kebijakan peralihan Ojol ke ranah UMKM, justru seolah ini terkesan menjadi alat untuk memperpanjang praktik eksploitasi, bukannya menyentuh substansi dan persoalan mendasar tentang regulasi dan payung hukum yang jelas.
Kebijakan pergeseran ojol ke ranah UMKM yang digadang-gadang sebagai solusi sekilas memang terdengar inovatif, namun jika ditelusuri lebih jauh, tampak bahwa hal tersebut seolah hanya menutupi akar persoalan, keterbatasan regulasi dan payung hukum yang tidak memadai. Meskipun ada sebagian lagi pandangan ojol yang mengakomodir dan berharap adanya perbaikan kesejahteraan dengan adanya pergeseran status tersebut.
Bagaimanapun pro dan kontra masih menjadi sebuah diskusi dan kajian hangat pada beberapa waktu ini di kalangan driver ojol baik di pangkalan-pangkalan maupun di komunitas-komunitas.
Banyak pertanyaan kritis muncul, seperti mengapa suatu kebijakan yang dinilai sebagai “solusi” justru tidak mengakomodasi peningkatan kesejahteraan driver secara mendasar?
Mengapa ada ketidaksesuaian antara janji benefit dan realita lapangan yang justru memperburuk posisi tawar pekerja?
Hal-hal inilah yang mendasari kekhawatiran para driver ojol, bahwa pergeseran ini tidak lain adalah sebuah strategi untuk mengalihkan perhatian dari kebutuhan mendasar akan regulasi yang komprehensif dan jaminan hukum yang kuat.
Lebih jauh, dalam diskusi juga menyasar dalam konteks supply dan demand tenaga kerja, kita harus mempertanyakan, apakah pengalihan status menjadi UMKM benar-benar menyelesaikan permasalahan atau malah menambah beban baru?
Faktanya setiap tahun kita lihat pihak aplikator dengan mudahnya menambahkan jumlah mitra tanpa memberikan pertimbangan matang mengenai kelayakan tarif, perlindungan kerja, dan jaminan keselamatan, seolah-olah memprioritaskan angka-angka statistik daripada kualitas hidup para driver.
Jika pergeseran ini dijadikan jalan keluar, maka masalah eksploitasi akan terus tumbuh subur seiring dengan bertambahnya jumlah pekerja yang tidak mendapatkan hak mereka. Ini jelas mencerminkan sebuah paradoks dimana peningkatan jumlah pekerja justru menjadi modal untuk menekan kesejahteraan mereka.
Dalam wacana kebijakan ini, banyak yang menilai peran Menteri UMKM kurang menguasai materi dasar yang sangat krusial dan menuntut untuk dikritisi secara tegas. Jika kebijakan dibuat tanpa penguasaan mendalam terhadap isu ketenagakerjaan dan tanpa menyelami hak-hak para driver secara objektif, maka keputusannya seolah menjadi representasi dari ambiguitas sistemik.
“Sudah selayaknya sebuah kebijakan strategis didasarkan pada dialog dan kajian yang menyeluruh, tidak hanya mengakali perhitungan ekonomi semata, tetapi juga mengutamakan keadilan sosial dan perlindungan hukum yang memadai bagi semua pihak yang terlibat.” tegas Putra
Selain itu, realitas yang ada di lapangan menunjukkan betapa tidak adanya keselarasan antara janji benefit yang diiklankan dengan kenyataan yang dialami oleh para ojek online. Penerapan tarif yang dinominasikan dengan alasan persaingan pasar, di tengah penerimaan mitra baru yang terus bertambah secara masif, jelas merupakan indikasi dari kekurangan perhatian terhadap kesejahteraan pekerja.
Jika tidak ada langkah nyata dalam penegakan regulasi dan kebijakan perlindungan yang menyeluruh, maka kebijakan ini hanya akan menjadi penutup lubang retorika yang pada akhirnya membiarkan eksploitasi terus berkembang dan merugikan ribuan pekerja setiap tahunnya.
Dengan segala pertimbangan tersebut, sudah sepatutnya untuk mempertanyakan keabsahan logika di balik pergeseran status ini. Bukankah seharusnya sebuah kebijakan yang bertujuan untuk melindungi tenaga kerja justru harus memiliki dasar hukum yang jelas dan sistem pengawasan yang efektif?
Pergeseran semacam ini, yang lebih menyerupai diplomasi retoris daripada tindakan reformasi nyata, justru mengaburkan tanggung jawab pihak regulator dan membuka celah bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan sempit untuk terus menggalakkan eksploitatif.
Semestinya, regulasi dan perundangan yang kokohlah yang menjadi fondasi untuk membangun keadilan dalam dunia ketenagakerjaan, bukan sekadar pergeseran status administratif yang tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Jadi, apabila dilihat secara keseluruhan, kita dihadapkan pada sebuah fenomena di mana kebijakan yang menyerupai solusi justru menciptakan masalah baru yang lebih mendasar. Eksploitasi yang sudah berjalan selama ini akan terus dilanggengkan kecuali ada upaya serius untuk menyusun regulasi yang berpihak pada hak-hak pekerja.
Penegakan hukum yang konsisten dan transparan, didukung dengan dasar hukum yang kuat, adalah satu-satunya alternatif untuk memutus rantai eksploitatif yang selama ini menjadi kenyataan pahit bagi para driver. Inilah panggilan untuk kita semua agar tidak terbuai oleh janji-janji manis yang pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir pihak, melainkan menuntut kejelasan, keadilan, dan perlindungan nyata bagi setiap tenaga kerja.
Serunya perdebatan dan polemik pembahasan wacana masih terus berlangsung seiring dengan dinamika ekosistem transportasi online yang terus berkembang, akankah ke depan ada solusi dari persoalan mendasar yang diharapkan ? atau hanya langkah-langkah taktis dalam pengalihan isu, kesemuanya masih terus tersaji dalam pergumulan perdebatan dan diskusi serta kajian transportasi online yang terus bergulir hingga hari ini.
Akhirnya open diskusi hari ini masih menyisakan beragam PR yang masih menggantung dan menuntut keterbukaan perspektif berikut cara pandang dalam melihat fenomena yang tersaji dalam headline media-media online.
Sebagai bagian dari komunitas akar rumput kita mungkin hanya bisa sebatas mengurai dan berdiskusi, serta menyampaikan aspirasi, terkait keputusan, dan kebijakan lebih lanjut tentu ada penentu regulasi dan pembuat kebijakan yang lebih berwenang dalam mengambil keputusan. Namun langkah kecil dalam open diskusi hari ini setidaknya membuat jejak gambaran baru guna perenungan mendalam di kemudian hari. Semoga apapun yang nantinya yang diputuskan tetap memperhatikan driver sebagai ujung tombak di lapangan dan menjadi tonggak awal perbaikan kesejahteraan.
®Pitut Saputra