CIREBON, CHANEL7.ID – Kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang diduga dilakukan oleh seorang oknum guru berinisial “W” di salah satu yayasan pendidikan di Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, baru-baru ini mencuat ke publik. Pengakuan seorang ibu berinisial RF yang anaknya menjadi korban perbuatan bejat tersebut semakin memperjelas dugaan kejahatan yang terjadi.
Persoalan ini mulai terungkap setelah keluarga korban mengetahui bahwa anaknya, yang berinisial RP (12), telah diperlakukan secara tidak pantas oleh oknum guru tersebut. Dalam keterangannya kepada beberapa awak media pada 10 Februari 2025, ibu korban mengungkapkan bahwa perbuatan itu terjadi sejak Desember 2024.
“Awalnya anak saya hanya disuruh mengoreksi soal, tetapi kemudian diminta untuk memainkan alat vital guru tersebut. Itu terjadi sekitar bulan Desember 2024. Kejadian serupa terulang kembali, kali ini di dalam kamar ustaz di pondok pesantren. Anak saya dipanggil dengan alasan yang sama, lalu diminta memijat serta kembali melakukan hal yang tidak senonoh terhadap ustaz tersebut. Pada kejadian ketiga, anak saya bahkan disodomi dari belakang,” ungkap ibu korban dengan penuh kesedihan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa anaknya merasa terancam oleh pelaku yang berinisial W. Oknum tersebut melarang korban untuk menceritakan kejadian ini kepada siapa pun, termasuk kepada orang tuanya.
“Inisial pelaku W, dan anak saya dipaksa bercerita karena sebelumnya ia diancam agar tidak boleh berbicara kepada siapa pun, termasuk kepada kami sebagai orang tuanya,”lanjutnya.
Puncaknya, pada kejadian ketiga, korban menangis dan akhirnya berani mengadu kepada kakak kelasnya. Bersama teman-temannya, mereka pun berinisiatif untuk menjebak pelaku.
“Anak saya akhirnya memberi tahu kakak kelasnya. Mereka kemudian membuat jebakan keesokan harinya setelah salat duha. Ketika anak saya kembali dipanggil ke kamar, dan disuruh membuka celana, teman-temannya mendobrak pintu. Kejadian keempat ini belum sempat terjadi karena anak saya berhasil diselamatkan,” jelas ibu korban.
Setelah beberapa bulan kasus ini mencuat, pihak yayasan akhirnya menghubungi keluarga korban pada 9 Februari 2025. Namun, pihak yayasan mengklaim bahwa mereka juga merupakan korban dan tidak mengetahui adanya tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh oknum guru tersebut. “Kemarin kami datang ke yayasan, mereka mengaku tidak tahu apa-apa. Bahkan, mereka mengatakan bahwa pelaku sudah dikeluarkan dari yayasan. Suami saya meminta identitas pelaku, tetapi hingga kini KTP-nya belum diberikan dengan alasan semua data bersifat digital dan masih dicari. Kami meminta pelaku dihadirkan dalam waktu 1×24 jam, karena menurut yayasan, pelaku masih berada di lingkungan yayasan,” ujar ibu korban.
Kasus ini semakin mengkhawatirkan karena ada dugaan bahwa jumlah korban bisa bertambah. Masyarakat dan pihak berwenang diharapkan segera mengambil langkah hukum untuk mengusut tuntas dugaan pencabulan di lingkungan pendidikan ini serta memberikan perlindungan bagi anak-anak agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
®Hadiyanto