KLATEN, CHANEL7.ID – Sate kere merupakan simbol kekayaan budaya kuliner yang telah merajut kisah di Dukuh Sagi, Desa Cokro, Kecamatan Tulung sejak zaman dahulu kala. Dalam setiap tusukan daging yang dibakar dengan arang, tersimpan cerita panjang tentang semangat gotong royong, kerja keras, dan kecintaan mendalam masyarakat terhadap cita rasa asli yang diwariskan turun-temurun. Resep yang merupakan warisan nenek moyang ini tidak hanya menghasilkan hidangan yang lezat, tetapi juga mengikat generasi demi generasi dalam tradisi yang penuh makna. Setiap potongan sate mengandung cerita, harapan, dan perjuangan yang membentuk identitas masyarakat Sagi (03/06/2025)
Menurut Kepala Desa Cokro, Heru Budi Santosa, “Mayoritas warga Dukuh Sagi menjadikan sate kere sebagai mata pencaharian utama. Setiap keluarga memiliki kisah tersendiri dalam proses pembuatan sate ini. Dari pemilihan bahan baku segar yang dengan cermat dipilih, hingga teknik memasak tradisional yang diajarkan sejak kecil, setiap langkah dilakukan dengan telaten dan penuh rasa cinta. Kelezatan sate kere yang tak lekang oleh waktu merupakan cerminan nilai-nilai kearifan lokal yang terus hidup di tengah arus modernisasi. Tradisi ini mengajarkan bahwa sesederhana apa pun suatu hidangan, jika dibuat dengan ketulusan dan rasa hormat terhadap budaya, maka ia akan selalu memiliki tempat di hati masyarakat.” terangnya
Lebih lanjut dikatakan “Keistimewaan sate kere tidak hanya terpaut pada cita rasa yang menggugah selera, tetapi juga pada kekuatan tradisinya yang melampaui batas wilayah. Banyak perantau sukses yang merantau ke kota-kota besar dan mengenalkan sate kere sebagai salah satu kekayaan kuliner daerah. Meski jauh merantau, setiap kali mereka pulang ke tanah kelahiran, mereka selalu menyempatkan diri untuk menggelar pagelaran wayang besar. Pagelaran wayang tersebut bukan hanya sebuah hiburan, melainkan juga sebagai ungkapan syukur atas limpahan rezeki dan sebagai media penyampaian nilai moral serta sejarah budaya yang telah ada sejak dahulu kala. Dengan perpaduan antara seni pertunjukan dan kuliner, identitas budaya masyarakat Sagi Cokro semakin kuat dan terasa dalam setiap detilnya.” terang Kepala Desa Cokro.
Seorang tour guide lokal bernama Ipunk turut membawa saya menelusuri jejak kuliner sate kere. Dalam perjalanannya, Ipunk mengajak saya mengunjungi pasar-pasar tradisional seperti Umbul Cokro, Pasar Cokro, dan Pasar Nggringging di Tulung. Di sana, kelezatan sate kere selalu menjadi buruan para pengunjung dan pecinta kuliner. Harga per porsi yang dijual berkisar antara 5.000 hingga 20.000 rupiah, tergantung pilihan varian yang tersedia. Mulai dari sate gembus, sate kere ayam, hingga berbagai jenis varian lainnya, masing-masing disajikan lengkap dengan lontong empuk dan sambel kacang yang menggugah selera. Kesederhanaan harga itu tidak mengurangi kualitas dan cita rasa, justru sebaliknya, menegaskan bahwa keaslian tradisi kuliner dapat dinikmati oleh siapa saja, tanpa memandang status ekonomi.” papar Ipunk.
Dibawa melangkah lebih jauh ke dalam Dukuh Sagi oleh Ipunk, saya disuguhi dengan pemandangan yang tak kalah menarik, sebuah patung penjual sate kere klasik berdiri di ujung dukuh. Patung tersebut, lengkap dengan panggangan tradisional dan keranjang bakul, merupakan simbol perjalanan panjang dan dedikasi para pedagang yang selama puluhan tahun telah menjaga serta melestarikan tradisi ini.
Ipunk menceritakan “Sosok patung tersebut mengingatkan setiap pengunjung akan arti penting mempertahankan warisan budaya, meski zaman terus berubah dan tantangan semakin kompleks. Keberadaan patung itu menjadi saksi bisu betapa dalamnya nilai sejarah dan semangat komunitas yang diusung oleh kuliner sate kere khususnya di dukuh Sagi Desa Cokro kecamatan Tulung ini,” ujarnya
Menurut Ipunk, “Sate kere bukan sekadar santapan biasa, hidangan ini menggambarkan jiwa dan semangat masyarakat Sagi Cokro. Setiap potongan sate yang dibakar dengan arang alami menceritakan keuletan, kreativitas, dan rasa syukur atas kehidupan. Dalam setiap gigitan, tersimpan kenangan akan perjuangan, kecintaan pada tradisi, dan keabadian budaya yang sulit tergantikan. Kuliner ini mengajarkan bahwa kekayaan budaya tidak diukur dari kemewahan atau modernitas, melainkan dari kesederhanaan, keikhlasan, dan kebersamaan dalam menjaga warisan leluhur.” tutur Ipunk.
“Tradisi sate kere terus menjadi simbol kehidupan dan kebanggaan rakyat Sagi Cokro. Aroma dan rasa yang tercium setiap kali sate ini disajikan selalu menginspirasi semangat sejarah yang membumbui kehidupan mereka. Dengan mempertahankan tradisi tersebut, masyarakat tidak hanya mengukir masa depan yang kaya nilai budaya, tetapi juga menanamkan kearifan lokal yang tak ternilai di hati setiap generasi.” Ipunk dengan tegas mengajak siapa saja yang mengunjungi Umbul Cokro, Joglo Latar Cokro, atau ke Desa Cokro untuk tidak melewatkan kesempatan menikmati kelezatan sate kere khas Dukuh Sagi. Pesan yang disampaikannya adalah, “Setiap kunjungan ke sini, jangan lupa mencicipi keunikan yang melekat dari setiap tusukan sate yang sarat makna.
Dirinya berpesan “Dengan segala keunikan dan kekuatan tradisinya, sate kere menjadi lambang keabadian budaya masyarakat Sagi Cokro. Ia mengajarkan kita bahwa di balik setiap hidangan sederhana terdapat kisah keberanian, kerja keras, dan cinta yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Semoga kelezatan sate kere selalu menjadi pengikat hati dan pemersatu bangsa, menginspirasi setiap generasi untuk terus menghargai dan melestarikan warisan budaya yang berharga ini. Karenanya ketika berkunjung ke Cokro jangan lupa untuk mencoba mencicipi hidangan kuliner warisan tradisi tersebut,” pungkasnya.
®Pitut Saputra