CIREBON, CHANEL7.ID – Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di tingkat kabupaten dan provinsi diharapkan tidak bersikap acuh tak acuh atau tidak peduli (Apatis) terhadap meningkatnya dugaan penyalahgunaan Pendapatan Asli Desa (PADesa) yang bersumber dari Tanah Kas Desa(TKD) khususnya bengkok di Kabupaten Cirebon.
Indikasi penyalahgunaan Pendapatan Asli Desa (PADesa) di Kabupaten Cirebon semakin mengkhawatirkan. Dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan aset desa, terutama Tanah Kas Desa (TKD) seperti titisara dan bengkok, terus mencuat dan menjadi perhatian serius. Kurangnya transparansi dalam pengelolaan aset desa menjadi faktor utama yang memperparah pengelolaan PADesa yang berpotensi banyak kekeliruan yang berujung penyalahgunaan.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa pemerintah desa di beberapa wilayah masih tertutup dalam mengelola kekayaan desanya. Minimnya akses informasi bagi masyarakat membuka peluang terjadinya penyalahgunaan secara terstruktur dan masif. Hal ini harus ditindaklanjuti, terutama karena banyak desa yang seharusnya memanfaatkan PADesa untuk pembangunan dan kesejahteraan warganya justru menghadapi dugaan praktik penyimpangan.
Menyikapi hal ini, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Cirebon dan Forkopimda Provinsi Jawa Barat harus memberikan perhatian serius terhadap lemahnya pengawasan dan regulasi yang memungkinkan dugaan penyalahgunaan PADesa terjadi semakin meluas. Selain itu, keterlibatan sejumlah oknum yang patut diduga melakukan penyimpangan PADesa menimbulkan benih-benih penyalahgunaan yang berpotensi merugikan masyarakat yang tidak mengetahui tentang pengelolaan aset desa dari tanah kas desa (TKD) yang merupakan sumber utama PADesa semakin sulit diungkap dan ditindak jika di abaikan dari pihak terkait.
Indikasi Kejahatan PADesa yang Semakin Meluas dan Terstruktur:
Dugaan penyalahgunaan PADesa di Kabupaten Cirebon menunjukkan pola yang semakin terstruktur dan sistematis, di mana praktik ilegal ini tidak lagi bersifat sporadis atau individual, tetapi telah berkembang menjadi potensi bibit penyalahgunaan yang melibatkan banyak aktor (oknum) dalam pemerintahan desa maupun pihak eksternal.
Berikut adalah beberapa pola yang mengindikasikan bahwa penyimpangan ini telah diorganisir secara rapi:
1. Dugaan Manipulasi dalam Laporan Keuangan PADesa:
• Pendapatan dari aset desa, terutama hasil sewa TKD seperti titisara dan khususnya bengkok, tidak dikelola sebagaimana regulasi yang ada sejak tahun 2016.
• Penyusunan laporan keuangan desa sering kali hanya formalitas, tanpa verifikasi yang memadai dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau instansi terkait.
• Pelelangan TKD hanya bersifat simbolis atau seremonial belaka, di mana pemenang lelang sering kali sudah ditentukan sebelumnya melalui praktik kongkalikong.
2. Penguasaan Aset Desa oleh Pihak Tertentu:
• Tanah Kas Desa (TKD) yang seharusnya dilelang terbuka justru dikuasai oleh segelintir pihak, seperti oknum perangkat desa, oknum keluarga kepala desa, atau pihak yang memiliki koneksi kuat.
• Tidak adanya papan informasi aset desa yang cukup mempersulit masyarakat/publik untuk mengetahui luas lahan, lokasi, nilai sewa, atau pemenang lelang yang sesungguhnya.
3. Dugaan Kolusi Antara Oknum Desa dan Oknum lainnya:
• Kerjasama ilegal antara oknum kepala desa, oknum perangkat desa, dan oknum pengawas dari kecamatan atau pknum dinas terkait sehingga membuat penyimpangan semakin sulit diungkap.
• Audit yang dilakukan oleh Inspektorat sering kali hanya bersifat biasa saja, tanpa pengawasan langsung di lapangan dan pemberian sangsi yang tegas guna memberikan efek jera.
• Potensi Kongkalikong dengan oknum BPD, oknum pendamping desa, serta oknum penyewa TKD menyebabkan proses pengelolaan aset desa tidak transparan terhadap masyarakat dan publik.
4. Dugaan Penyalahgunaan Tanah Kas Desa (TKD):
• Dana hasil lelang TKD seharusnya masuk ke kas desa untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat, tetapi sering kali tidak terlapor dengan jelas atau bahkan digunakan untuk kepentingan pribadi.
• Akuntabilitas pengelolaan PADesa semakin lemah, di mana tidak ada laporan rinci mengenai pendapatan dan penggunaan hasil PADesa.
Penyebaran Masif Dugaan Penyalahgunaan PADesa:
Selain terstruktur, dugaan penyalahgunaan PADesa juga telah menjadi masalah masif yang terjadi di banyak desa di Kabupaten Cirebon.
Beberapa indikator masifnya penyimpangan ini meliputi:
1. Dugaan Penyimpangan Terjadi di Banyak Desa dengan Pola yang Sama:
• Tidak hanya satu atau dua desa yang terindikasi menyalahgunakan PADesa, tetapi modusnya serupa di berbagai kecamatan.
• Praktik ini terus berulang karena tidak maksimal adanya mekanisme pengawasan yang kuat dan penindakan sangsi hukum sehingga membuat efek jera. 2. Minimnya Sanksi dan Lemahnya Pengawasan
• Kurangnya tindakan tegas dari Inspektorat dan dinas terkait membuat pelanggaran terus menerus terjadi, termasuk minimnya sikap tegas kinerja Camat sebagai binwas.
• Audit PADesa sering kali hanya dilakukan menjelang akhir masa jabatan kepala desa, bukan sebagai evaluasi tahunan yang sistematis.
3. Kurangnya Transparansi dalam Pengelolaan Aset Desa:
• Tidak adanya papan informasi publik terkait aset desa seperti sejumlah dan luas serta lokasi TKD membuat masyarakat semakin sulit mendapatkan data valid mengenai TKD.
• Informasi mengenai nilai lelang, daftar pemenang, dan penggunaan dana tidak dibuka secara luas.
4. Budaya Permisif di Kalangan Aparat Desa:
• Banyaknya desa yang melakukan praktik serupa menciptakan mentalitas permisif, di mana oknum kepala desa merasa tidak sendirian dalam melakukan pelanggaran.
• Mereka merasa kebal hukum karena tidak ada tekanan dari masyarakat dan publik serta lembaga pengawas.
Dampak Buruk bagi Masyarakat dan Desa:
Jika dugaan penyimpangan ini terus dibiarkan, dampak buruknya sangat besar bagi masyarakat, di antaranya:
– Menghambat pembangunan desa, karena dana desa tidak digunakan untuk kepentingan masyarakat.
– Menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa, karena warga merasa tidak maksimal dilibatkan dalam pengelolaan PADesa, situasi ini berpotensi menjadikan benih sifat kontrol sosial terhadap SDM menjadi “Apatis”.
– Tidak meningkatkan kesenjangan sosial dan ekonomi, karena aset desa hanya dikuasai oleh segelintir pihak.
– Memperparah budaya korupsi di tingkat desa, yang semakin sulit diberantas di masa depan, jika tidak ditindaklanjuti.
Rekomendasi dan Solusi untuk Mengatasi Dugaan Penyimpangan PADesa:
Agar dugaan penyalahgunaan PADesa dapat diminimalisir, beberapa langkah strategis perlu segera dilakukan:
1. Transparansi dalam Pengelolaan Aset Desa:
– Pemerintah desa wajib memasang papan informasi publik tentang aset desa, termasuk luas tanah, lokasi, dan mekanisme lelang.
– Lelang TKD harus dilakukan secara terbuka, dengan partisipasi masyarakat dan pengawasan dari Forkopimcam.
2. Pengawasan yang Ketat dari Pemerintah Kabupaten dan Provinsi:
– Forkopimda Kabupaten dan Provinsi harus turun tangan untuk memastikan transparansi dalam pengelolaan PADesa.
– Inspektorat wajib melakukan audit tahunan, bukan hanya pemeriksaan menjelang pergantian kepala desa.
3. Regulasi yang Lebih Tegas dan Sanksi Efek Jera:
– Pemerintah harus mengeluarkan peraturan daerah (Perda) khusus untuk memastikan pengelolaan PADesa yang akuntabel.
– Desa yang terbukti menyalahgunakan PADesa harus dikenai sanksi administratif dan pidana sesuai regulasi yang berlaku.
4. Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan:
– Masyarakat harus diberi akses penuh terhadap informasi pengelolaan PADesa.
– DPMD dan Inspektorat harus membuka layanan pengaduan khusus bagi warga yang menemukan indikasi penyalahgunaan aset desa.
– Pihak terkait harus mensosialisasikan regulasi kepada masyarakat luas agar tidak menjadi apatis terhadap kontrol sosial sehingga penyalahgunaan PADesa semakin berkurang.
Kesimpulan:
Dugaan penyalahgunaan PADesa di Kabupaten Cirebon semakin meningkat dan terstruktur serta masif, dugaan dengan pola yang berulang dan minim pengawasan memberi celah bagi oknum yang meraup keuntungan dari kekayaan desa. Kondisi meningkatnya dugaan penyalahgunaan PADesa di Kabupaten Cirebon, Forkopimda Kabupaten dan Provinsi harus segera bertindak untuk meningkatkan transparansi, memperkuat pengawasan, dan menegakkan regulasi demi mencegah kerugian lebih besar bagi masyarakat luas sehingga kepercayaan publik tidak melihat dengan sebelah mata. Jika dibiarkan, dugaan korupsi di tingkat desa akan semakin sulit diberantas dan merugikan kepentingan publik.
©Disclaimer : Artikel Ini Berdasarkan Riset dan Pendapatan Penulis.
®Hadiyanto