BANDUNG, CHANEL7.ID – Sungguh miris, saat membaca artikel di media Chanel7.id yang menginformasikan bahwa ditengah Bulan Ramadhan lalu tempat usaha karaoke, minuman keras (Miras) di wilayah Desa Pekantingan, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, diduga kuat masih terus beroperasi. Parahnya, menurut penelusuran jurnalis tempat tersebut diduga menjadi tempat prostitusi.
Tidak habis pikir, Bulan Ramadhan yang selalu diagungkan dan disucikan ternodai dengan praktik-praktik yang terkategori haram dalam pandangan Islam. Terlebih tempat prostitusi berada di Cirebon, wilayah yang terkenal dengan sebutan ” Kota Wali” karena didirikan oleh seorang wali, yaitu Syekh Syarifhidyatullah atau Sunan Gunungjati.
Baca Beritanya :
Kota Cirebon hingga kini masih menjadi tujuan jamaah dalam berziarah untuk meningkatkan keimanan dan memberikan penghormatan kepada para pendahulu yabg telah berjasa dalam penyebaran agama Islam di nusantara.
Fakta miris terkait tempat prostitusi yang beroperasi di Cirebon meski di bulan suci Ramadhan seharusnya menjadi evaluasi bagi semua pihak. Baik bagi masyarakat Cirebon, Pemerintah setempat serta umat Islam pada umumnya. Karena Cirebon merupakan representasi dari masyarakat yang mewarisi nilai-nilai keislaman.
Terkait praktik prostitusi itu sendiri, diduga kuat akibat dari tekanan ekonomi yang dialami masyarakat. Melihat dari data BPS Jawa Barat, Kota Cirebon memang termasuk wilayah yang termiskin di Jawa Barat. Karena itu, saat melihat kasus prostitusi di Cirebon tidak boleh secara parsial saja, melainkan harus dilihat secara komprehensif.
Artinya tidak serta merta hanya menyalahkan wanita tunasusilanya saja, tetapi juga konsumennya, tempat yang menaunginya, hingga peran pemerintah yang belum mampu mensejahterakan masyarakatnya.
Hal lainnya yaitu sulitnya lapangan kerja menjadikan sebagian orang memilih jalan pintas. Pekerjaan yang mengeksploitasi sisi keperempuanan seakan menjadi pilihan yang logis untuk saat ini. Kondisi ini kian kusut saat berhadapan dengan realitas sosial masyarakat yang konsumtif. Tidak dimungkiri, sikap konsumtif ini memengaruhi nyaris seluruh lapisan masyarakat.
Padahal saat kembali pada pandangan Islam, prinsip hidup yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat Cirebon sebagai representasi dari sebutan” Kota Wali” yaitu standar kebahagiaan manusia hanya merujuk pada apa yang Allah ridhoi.
Halal-haram adalah patokan perbuatan. Keyakinan individu ini akan habitat yang tepat ketika masyarakat dan negara turut serta berperan dalam mewujudkan suasana keimanan dalam kehidupan sosial.
Di sisi lain, sistem ekonomi yang berlaku adalah yang berpijak pada prinsip bahwa negara adalah pengurus rakyat serta memposisikan negara sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyat.
Mekanisme pemenuhannya sesuai standar syariat yang berawal dari penafkahan seorang ayah/suami kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya. Dalam hal ini, negara wajib mengedukasi para wali-penanggung nafkah-untuk bekerja. Negara pulalah yang berkewajiban membuka lapangan kerja bagi mereka.
Jika penafkahan wali tidak terselenggara karena sebab tertentu, penafkahan ini akan berpindah kepada kerabat. Jika kondisi ideal ini belum terpenuhi, ada konsep saling membantu (ta’awun) antara sesama. Jika seluruh mekanisme di atas tidak terlaksana karena orang yang bersangkutan wafat/tidak ada, negara wajib turun tangan, hingga batas pemenuhan kebutuhan individu warga terpenuhi.
Konsep nafkah ini urgen untuk kita perhatikan karena terdesaknya seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup jelas berpotensi memunculkan bahaya, salah satunya dengan menghalalkan segala cara untuk memperoleh harta seperti prostitusi.
Lebih lanjut, prostitusi berkaitan erat dengan sistem sosial masyarakat. Untuk itu, negara wajib menciptakan tata sosial yang sesuai syariat. Dalam kehidupan sosial, negara wajib mengontrol interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan hanya pada perkara yang dibolehkan syarak, yakni pendidikan, kesehatan, dan muamalah syar’i.
Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Artinya: “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk”. (Qs. Al-Isra’: 32).
Ayat di atas dengan sangat jelas memberikan penegasan kepada kita agar jangan sesekali bahkan mendekati zina. Dalam hal ini, Imam At-Thabari dalam tafsirnya Jamiul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an menjelaskan bahwa pada ayat di atas Allah memberi penegasan kepada umat Islam agar tidak mendekati zina, sebab zina merupakan perbuatan keji dan mungkar, juga jalan yang terburuk.
Selain itu, Islam benar-benar mendudukkan negara dalam perannya sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Atas dasar ini, negara wajib menciptakan kehidupan sosial yang bersih dari stimulus syahwat.
Negara juga berkewajiban menindak tegas setiap tayangan maupun visualisasi baik dalam bentuk gambar maupun suara yang berpotensi membangkitkan syahwat. Dalam Islam, media mesti bersih dari berbagai hal yang merusak tatanan kehidupan masyarakat, termasuk eksploitasi privasi kehidupan seseorang yang berpotensi memengaruhi perspektif Islam yang sahih di masyarakat.
Islam juga memiliki seperangkat sistem sanksi yang tegas dan menjerakan bagi pelaku maksiat. Hal ini akan mampu mencegah terjadinya prostitusi dalam segala bentuknya. Islam tidak mengenal prinsip kebebasan yang menjadi dalih bagi manusia untuk berbuat sekehendak hatinya.
Di samping berbagai tugas negara di atas, suasana keimanan yang tercipta di masyarakat tidak lepas dari adanya individu yang bertakwa. Keimanan yang mereka miliki adalah benteng dari berbagai perilaku maksiat. Individu-individu yang terikat oleh aturan, pemikiran, dan perasaan sama inilah yang ada dalam kehidupan masyarakat Islam, seperti yang pernah terwujud selama 13 abad lamanya.
Ini tentu berbeda dengan kondisi masyarakat sekuler saat ini. Alih-alih hidup dalam kondisi sejahtera, mereka justru hidup dalam sistem rusak yang mencerabut fitrah mereka sebagai manusia berakal. Wallaahualam bissawab.