CIREBON, CHANEL7.ID – Pemerintahan Desa Setu Kulon, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, kembali menjadi sorotan tajam publik. Sejumlah persoalan yang belum terselesaikan dari tahun anggaran 2024, kini berdampak pada potensi mandeknya pencairan dana desa tahun anggaran 2025 yang patut diduga sebabkan adanya konflik kepentingan.
Salah satu isu krusial adalah pengambilan Penghasilan Tetap (Siltap) aparatur desa yang tidak sesuai peruntukannya. Pengambilan Siltap bulan Januari hingga Maret pada April 2025 yang bersumber ADD (Alokasi Dana Desa) tahun anggaran 2024 yang direnggut patut diduga tidak di SiLpa-kan di tahun berjalan sesuai prosedur hingga pergantian tahun 2024 ke 2025.
Penggunaan Siltap ini menimbulkan dugaan kuat adanya pelanggaran hukum serius dalam pengelolaan keuangan desa. Ketidaksesuaian peruntukan Siltap ini memperkuat indikasi adanya penyimpangan atau penyalahgunaan anggaran di lingkup Pemerintah Desa Setu Kulon.
Undangan Rapat APBDes 2025 Yang Menyimpang Regulasi:
Masalah lain yang mencuat adalah isi surat undangan pembahasan Rancangan Peraturan Desa (Perdes) APBDes Tahun Anggaran 2025, tertanggal 2 Juni 2025, yang hanya ditujukan kepada Ketua dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Undangan tersebut, ditandatangani oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kuwu, menjadwalkan rapat pada 3 Juni 2025 malam di Balai Desa (19:30 WIB).
Namun, mekanisme tersebut dianggap janggal dan tidak partisipatif karena tidak melibatkan unsur masyarakat desa, padahal regulasi desa telah mengamanatkan prinsip transparansi dan partisipasi dalam penyusunan APBDes.
Rangkaian regulasi yang mendukung prinsip tersebut antara lain:
• UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 51 dan 80),
• Permendagri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa,
• Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 tentang BPD, serta
• PP Nomor 47 Tahun 2015 Pasal 80.
Kewenangan Plt Disorot Tajam:
Lebih lanjut, keabsahan tindakan Plt Kuwu Setu Kulon pun menjadi sorotan. Banyak pihak mempertanyakan dasar hukum yang memperbolehkan Plt menandatangani dokumen strategis seperti RKPDES, APBDes, dan Perdes.
Salah seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan, sebut saja Mr. X, mengkritik tajam langkah Plt tersebut. “Jangan bahasa cair dulu melawan aturan tidak. Mana dasar hukum atau aturan mana yg membolehkan PLT menandatangani RKPDES,APBDES, PERDES. Siapa mana orangnya yg membolehkan atau yang bertanggungjawab bahwa boleh plt menandatangani., “tegasnya.
Menurut Mr. X, status Plt sangat terbatas. Ia menekankan bahwa Kepala Desa (Kuwu) definitif masih ada, dan regulasi tidak memberikan kewenangan strategis kepada Plt. Lebih lanjut, Mr. X menjelaskan bahwa persoalan ini masih ada kuwu dan regulasi, “Adanya di permendes hanya petunjuk teknis.insidental. Orang kuwunya masih ada.” Jelasnya.
Ia juga menambahkan terkait menjalankan roda kepemerintahan harus melalui teknis dan regulasinya, “Kalau menjalankan teknis ikuti aturan harus di jalankan semua perpoinnya. Tetap di tetapkan kuwu/kepala desa .bukan PLT”, tambahnya Mr. X.
Aspek Hukum dan Administratif:
Persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang administrasi dan tindakan administratif. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Cipta Kerja serta Surat Edaran BKN Nomor 2/SEA/IV/2019, ditegaskan bahwa:
• Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan strategis yang berdampak pada perubahan status hukum dalam aspek organisasi, kepegawaian, maupun alokasi anggaran.
• Pengangkatan sebagai Pelaksana Harian maupun Pelaksana Tugas tidak membebaskan yang bersangkutan dari jabatan definitif nya, dan tunjangan jabatan tetap dibayarkan sesuai jabatan definitif.
Dengan demikian, jika seorang Plt atau pejabat lain melakukan tindakan di luar batas kewenangan administratifnya, terutama dalam pengambilan keputusan strategis seperti pengesahan surat-surat dan/atau dokumen, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai penyimpangan wewenang dan berpotensi melanggar hukum.
Dinamika yang terjadi di Desa Setu Kulon saat ini menandai krisis tata kelola desa yang perlu segera ditindaklanjuti. Bekunya anggaran 2024 Pemdes Setu Kulon yang belum maksimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran pada tahun anggaran 2025 berpotensi tidak bisa dicairkan.
Situasi ini menjadi alarm bagi Pemerintah Kabupaten Cirebon, khususnya Kecamatan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Cirebon, untuk mengevaluasi dan mengambil tindakan tegas demi menjamin kepastian hukum dan keberlangsungan pembangunan di desa.
®Hadiyanto